PenaWarna 2025: Perpustakaan Ruang Ketiga, Literasi Tumbuh, Peradaban Bergerak

Hai, Edufriend! Pada tahun 2024 Fakultas Ilmu Pendidikan baru saja menambahkan program studi baru yaitu Program Studi Perpustakaan dan Sains Informasi. Sebagai sebuah langkah awal untuk memperkenalkan diri ke masyarakat luas, prodi ini menggelar seminar nasional bertajuk PenaWarna yang diadakan pada Kamis, 9 Juni 2025 dengan tema “Perpustakaan sebagai Ruang Kerja”. Acara ini diadakan di Aula Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Jakarta pusat. Seminar ini juga menghadirkan pemikiran kritis dari berbagai narasumber nasional dan membahas peran strategis perpustakaan dalam membangun masyarakat berbasis literasi. Walaupun prodi ini baru berdiri namun langsung mengambil inisiatif sebagai langkah awal untuk menunjukkan komitmen akademik dan sosialnya dalam menjawab tantangan rendahnya literasi dan pentingnya transformasi di ruang publik.

Seminar ini mempunyai tujuan menyoroti pentingnya penguatan peran perpustakaan dalam kehidupan sosial masyarakat. Bukan hanya menjadi tempat penyimpanan buku, perpustakaan diharapkan bisa menjadi ruang publik yang inklusif, tempat warga berkumpul, berdiskusi, dan tumbuh bersama melalui literasi. Sebagai prodi baru, ini menjadi momentum penting bagi Program Studi Perpustakaan dan Sains Informasi FIP UNJ untuk menegaskan eksistensinya dalam membentuk masyarakat berbasis pengetahuan.

(Sumber: Humas UNJ, unj.ac.id)

Narasumber Nasional Bicara Literasi, AI, dan Perpustakaan Masa Kini yang Bertransformasi Menjadi Ruang Sosial

Seminar ini menghadirkan beberapa narasumber terkemuka, antara lain Diki Lukman (Kepala Perpustakaan DKI Jakarta dan PDS H.B. Jassin), Reda Gaudiamo (Praktisi budaya dan Penulis), Maman Suherman (Pegiat Literasi), serta Taufik Asmiyanto (Dosen Ilmu Perpustakaan dan Informasi serta Penggagas Armanesia.com ). Mereka menyampaikan pandangan yang berbeda-beda namun saling melengkapi terkait pentingnya menjadikan perpustakaan sebagai sebuah ruang sosial yang adaptif terhadap zaman.

Taufik Asmiyanto, memberi penjelasan bahwa konsep “ruang ketiga” yang dikenalkan oleh Ray Oldenburg merupakan ruang sosial di luar rumah dan tempat kerja, di mana setiap orang dapat berinteraksi secara egaliter. Ia menegaskan bahwa perpustakaan bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga harus dirancang sebagai ruang publik yang inklusif dengan program berbasis riset, bukan semata-mata infrastruktur megah atau teknologi canggih.

Namaku Alam Dibedah, Leila S. Chudori Hadirkan Imajinasi Sastra yang Selaras dengan Misi Literasi

(Sumber: Humas UNJ, unj.ac.id)

Bukan hanya sebatas diskusi, seminar nasional PenaWarna juga menghadirkan sesi bedah buku karya Leila S. Chudori berjudul Namaku Alam. Ini menjadi salah satu sesi yang menjadi pemantik refleksi bagi para peserta untuk melihat bagaimana karya sastra mampu membangun kesadaran literasi secara emosional dan naratif, terutama bagi generasi muda yang tengah bergelut dalam dinamika sosial dan budaya.

Kehadiran mahasiswa dan masyarakat umum dalam sesi bedah buku ini mencerminkan antusiasme terhadap literasi sastra sebagai bagian dari ekosistem perpustakaan. Buku sebagai medium utama perpustakaan, bukan hanya untuk informasi semata, tetapi juga untuk membentuk karakter dan membangkitkan imajinasi yang kritis dan berwawasan.

Nasruddin Djoko Surjono, Sebagai kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta, dalam sambutannya menekankan pentingnya memperkuat peran perpustakaan sebagai pusat literasi masyarakat. Ia mengajak masyarakat agar memanfaatkan berbagai fasilitas perpustakaan umum di Jakarta, dari ruang baca, ruang diskusi, hingga layanan digital. Selain itu, ia juga menyoroti adanya tantangan besar yang dihadapi bangsa, seperti rendahnya skor Program for International Student Assessment (PISA) Indonesia dan minimnya ekosistem penerbitan lokal. Edufriend, menurut beliau, perpustakaan harus bergerak aktif dalam promosi literasi, kolaborasi antar lembaga, dan memfasilitasi keterjangkauan literasi ke seluruh wilayah terutama daerah dengan akses yang cukup terbatas.  

Perpustakaan, AI, dan Tantangan Baru: Saatnya Pustakawan Menjadi Agregator Cerdas

Maman suherman, atau yang akrab disapa kang Maman, mengangkat isu menarik mengenai suatu keterhubungan antara kecerdasan buatan (AI) dan peran pustakawan di masa depan. Menurutnya, pustakawan tidak boleh kalah oleh teknologi, melainkan harus menjadi agregator informasi yang cerdas, yang mampu menyaring, mengelola, dan menyampaikan informasi secara etis dan relevan.

Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya peran pustakawan sebagai penjaga gerbang literasi masyarakat. Edufriend, di era yang dipenuhi arus informasi yang masif, perpustakaan dan pustakawan seharusnya menjadi penuntun, bukan sekadar pelayan rak buku. Pustakawan yang adaptif terhadap perkembangan digital adalah aset besar bagi kemajuan bangsa.

Tokoh Pendidikan dan Budaya Sepakat: Perpustakaan Harus Jadi Ruang Belajar, Berkarya, dan Membangun Peradaban.

Aip Badrujaman, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ, menyampaikan bahwa ilmu perpustakaan bukan sekadar tentang klasifikasi dan pengarsipan buku. Opini nya, lulusan Prodi Perpustakaan dan Sains Informasi harus menjadi katalisator yang memfasilitasi proses belajar guru dan peserta didik, serta menjadikan institusi pendidikan sebagai motor penggerak peradaban. Ia menekankan pentingnya penguatan literasi digital, khususnya di lingkungan keluarga, dalam menghadapi tantangan zaman yang serba digital. Ia berharap prodi baru ini dapat mencetak pustakawan masa depan yang tak hanya cakap teknis, tetapi juga memiliki visi humanis dan komitmen sosial.

Senada dengan itu, Reda Gaudiamo, praktisi budaya dan penulis, memberikan pandangan personal yang menyentuh. Bagi dia sendiri, perpustakaan bukan ruang ketiga, melainkan justru ruang pertama yang membentuk jati dirinya sejak kecil. Ia menyebut perpustakaan sebagai ruang aman untuk berpikir, membayangkan, dan bertumbuh. Reda juga menyerukan agar akses literasi diperluas hingga menjangkau daerah terpencil dan ruang digital, tanpa ada yang tertinggal.

Diki Lukman, Kepala Perpustakaan DKI Jakarta sekaligus pengelola PDS H.B. Jassin, menambahkan bahwa perpustakaan masa kini harus menjadi ruang publik aktif yang mendukung proses belajar dan berkarya. Ia mencontohkan bagaimana PDS H.B. Jassin kini menghadirkan ruang podcast, kelas diskusi, dan berbagai program literasi untuk semua usia. “Kita harus ubah paradigma. Perpustakaan bukan gudang, tetapi ruang untuk mencipta, belajar, dan berkembang,” tegasnya.

Dengan adanya seminar ini, maka akan melahirkan berbagai pemikiran inspiratif dari para tokoh pendidikan, budaya, dan literasi. Seminar nasional PenaWarna menunjukkan bahwa perpustakaan bukan sekadar ruang sunyi penuh rak buku, melainkan jantung dari masyarakat yang cerdas, inklusif, dan berdaya. Peran pustakawan masa kini pun semakin strategis mereka adalah penggerak perubahan yang menjembatani pengetahuan dan kehidupan nyata. Yuk, Edufriend, mari kita dukung gerakan literasi dari ruang-ruang terkecil, dari rumah, sekolah, hingga perpustakaan!

 

 

Writer: Sekar Salsabila Permana Putri 

Editor: Tim News Director