Tujuh Tahun Berlalu: Palu Bangkit dari Luka Gempa, Tsunami, dan Likuifaksi

(Sumber: getty images, bbc.com)

Halo, Edufriend! Tujuh tahun sudah berlalu sejak gempa, tsunami, dan likuifaksi mengguncang Palu pada 2018, namun ingatan akan tragedi itu masih begitu melekat. Dalam sekejap, bumi berguncang, gelombang besar menerjang pesisir, dan tanah seolah mencair menelan bangunan serta rumah warga. Ribuan nyawa melayang, ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal, keluarga, dan mimpi mereka. Hingga kini, rasa trauma itu masih ada, sebab setiap kali terjadi gempa kecil, bayangan masa lalu kerap muncul kembali di benak masyarakat.

Kilas Balik Bencana yang Menghancurkan

Pada 28 September 2018, Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, menghadapi salah satu bencana paling mengerikan dalam sejarahnya. Pagi itu, tak ada yang menyangka bahwa gelombang bencana akan datang dalam sekejap. Sekitar pukul 14.00 WIB, gempa bermagnitudo 6 SR mengguncang Donggala, sebuah wilayah di dekat Kota Palu. Meskipun gempa pertama ini relatif kecil, dampaknya tetap terasa. Beberapa rumah rusak, dan satu nyawa melayang. Tak lama setelahnya, gempa kedua yang jauh lebih kuat, magnitudo 7,7 SR, terjadi pada pukul 17.02 WIB. Tanpa peringatan sebelumnya, gelombang besar tsunami mulai menerjang sepanjang pesisir Palu.

Tsunami datang dengan sangat cepat, menghantam kota ini dengan kekuatan yang luar biasa. Di Desa Tondo, Palu Timur, gelombang tsunami mencapai ketinggian 11,3 meter, cukup untuk menyapu bersih hampir seluruh bangunan yang ada di sepanjang pantai. Disisi lain, beberapa daerah seperti Desa Mapaga di Kabupaten Donggala juga terdampak, meskipun dengan ketinggian gelombang yang lebih rendah, sekitar 2,2 meter.

Gempa dan tsunami bukanlah satu-satunya bencana yang terjadi pada hari itu. Begitu gempa mengguncang, tanah di sekitar Palu dan Donggala mulai bergerak dengan cara yang tak terbayangkan. Fenomena likuifaksi terjadi di beberapa area, salah satunya di Petobo. Tanah yang sebelumnya tampak kokoh seolah mencair, berubah menjadi lumpur tebal yang menelan segala sesuatu di sekitarnya—rumah, kendaraan, bahkan pohon-pohon besar. Fenomena ini terjadi karena adanya kombinasi pasir dan air di bawah permukaan tanah, yang membuat tanah kehilangan kemampuan untuk menahan beban apapun. Tanah yang dulunya padat kini berubah menjadi cair, meruntuhkan pondasi bangunan dan menenggelamkan rumah-rumah dalam sekejap.

Palu, yang sebelumnya merupakan kota yang ramai dan penuh aktivitas, seketika berubah menjadi lautan reruntuhan. Sebuah kota yang kini tidak hanya harus menghadapi kerusakan fisik, tetapi juga menghadapi dampak sosial dan psikologis yang mendalam dari tragedi yang datang begitu mendalam dan mendalam dalam waktu yang sangat singkat.

Pada malam harinya, setelah gelombang pertama tsunami, Palu masih dilanda gempa-gempa susulan. Seiring dengan berjalannya waktu, lebih dari 13 gempa dengan magnitudo lebih dari 5 mengguncang wilayah ini hingga larut malam. Kekuatan gempa-gempa susulan membuat banyak orang semakin panik dan terjebak dalam ketakutan, meskipun mereka telah berusaha menyelamatkan diri.

Menghadapi Trauma, Warga Palu Bangkit dari Kehancuran

Kejadian 28 September itu meninggalkan kesan yang mendalam dalam ingatan banyak orang. Gelombang tsunami yang menghantam pesisir dengan kekuatan dahsyat, tanah yang tiba-tiba berubah menjadi lumpur, serta ketidakpastian yang menyelimuti kota, menggambarkan betapa rapuhnya kehidupan manusia dihadapan kekuatan alam.

Meski begitu, Palu tidak berhenti pada duka. Kota ini perlahan bangkit dan berbenah. Pemerintah bersama masyarakat membangun kembali hunian tetap bagi penyintas, membuka ruang ekonomi baru, serta menghadirkan fasilitas pendidikan dan publik yang lebih baik. Beberapa wilayah memang tetap kosong karena dinyatakan rawan bencana, namun denyut kehidupan kembali terasa. Pasar mulai ramai, sekolah kembali penuh dengan anak-anak, dan aktivitas warga semakin menggeliat seiring waktu.

Pentingnya Kesadaran Kebencanaan

Tragedi ini juga menjadi pengingat penting tentang bagaimana hidup di Indonesia berarti hidup berdampingan dengan potensi bencana. Posisi geografis kita yang berada di cincin api membuat risiko gempa dan tsunami selalu ada. Dari pengalaman pahit itu, lahir kesadaran baru tentang pentingnya mitigasi bencana. Program edukasi kebencanaan digencarkan di sekolah-sekolah, terutama di daerah rawan bencana. Anak-anak diajarkan bagaimana bertindak cepat dan benar saat terjadi gempa atau tsunami. Simulasi evakuasi dilakukan secara berkala, tidak hanya di sekolah tapi juga di lingkungan masyarakat. Pemerintah daerah, bersama BPBD dan relawan, gencar melakukan sosialisasi agar warga paham risiko yang ada di sekitarnya.

Kesadaran ini juga mendorong partisipasi aktif komunitas lokal. Di beberapa daerah, warga mulai membentuk kelompok siaga bencana yang berfungsi sebagai tim respon cepat saat terjadi keadaan darurat. Mereka juga dilatih untuk mengenali jalur evakuasi, menyiapkan tas siaga, hingga cara memberikan pertolongan pertama.

Kini, tujuh tahun setelah bencana, Palu menjadi simbol ketangguhan. Meski luka itu tidak akan hilang sepenuhnya, masyarakatnya memilih untuk terus bangkit dan menata masa depan dengan semangat baru. Tragedi Palu mengajarkan kita untuk selalu waspada terhadap bencana, pengingat untuk terus belajar tentang upaya mitigasi, serta saling merangkul dan bergotong royong untuk menghadapi masa depan yang tak pasti. 

Dari Palu kita juga belajar bahwa meskipun hidup bisa berubah dalam sekejap, manusia selalu punya kekuatan untuk berdiri kembali dan menemukan harapan di tengah kehancuran. Jadi, tetap waspada, tetap peduli, dan jangan pernah kehilangan harapan, ya, Edufriend!

 

 

Writer: Jidniy Auliah

Editor: Tim News Director